Arnold Clemens Ap, tokoh budayawan Papua yang dibunuh oleh
pasukan elit Kopassandha (sekarang Kopassus) di Pasir Enam, Kota
Jayapura, Papua pada tanggal 26 April 1984 lalu, diperingati oleh
puluhan warga Papua di Kota Jayapura, Papua pada Kamis (26/4).
Peringatan itu dilakukan dengan diadakan long march dari
Museum Lokabudaya Universitas Cenderawasih (Uncen) di Abepura menuju
tempat peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Umum Tanah Hitam,
Abepura. “Arnold Ap adalah mahasiswa Geografi, Uncen Jayapura yang
menyiarkan program mingguan popular di radio lokal Irian Jaya waktu
itu,” kata Peneas Lokbere, Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran
HAM Papua (SKPHP) ke tabloidjubi.com di Abepura, Kota Jayapura, Papua.
Pada Kamis, 26 April 2012 adalah peringatan 28 tahun kematian Sang
Budayawan. Penangkapan Arnold Ap sendiri terjadi pada 30 November 1983
dalam Operasi Tumpas dibawa kendali Komando Pasukan Sandi Yudha
(Kopasandha).
Operasi militer ini sifatnya tertutup dengan menggunakan pola
penculikan terhadap warga sipil yang dituduh sebagai anggota Organisasi
Papua Merdeka (OPM) dan terjadi blockade milter. Akibat blockade
militer tersebut, informasi sangat sulit diakses sehingga jumlah korban
sipil sangat sulit diprediksi yang mana situasi ini oleh Robin Osborn
disebut The Secret War atau perang rahasia.
Saat Operasi Tumpas berlangsung (1983-1984), banyak Warga Papua
melakukan eksodus besar-besaran ke negara tetangga, Papua New Guinea
untuk menyelamatkan diri dari represi militer. Setelah melewati masa
interogasi dan penganiayaan yang panjang, Arnold Ap dipindahkan ke
komando militer yang kemudian diserahkan ke petugas intelijen
kepolisian. Pada 14 April 1984, Arnold Ap sempat terlihat di Kampus
Uncen yang dikawal oleh seorang perwira.
Seminggu kemudian diumumkan bahwa ia telah melarikan diri dari
penjara dengan 4 orang tahanan lainnya. Di kemudian hari, masyarakat
tahu bahwa ‘melarikan diri’ Arnold Ap ini diatur oleh pihak yang
berwenang. Salah satu tahanan ternyata melarikan diri ke PNG dan menjadi
satu-satunya saksi mata dalam kasus ini. Dalam kisahnya ia menuturkan
bahwa mereka dipaksa berenang ke sebuah perahu. Eduard Mofu, saudara
dekat Ap tertembak di kepala, ditusuk di leher lalu dilempar ke laut.
Jenazah Mofu kemudian disemayamkan bersebelahan dengan mendiang Arnold
Ap. “Arnold Ap ditembak tiga kali di perut dan ditikam di dada. Ia
sempat dibawa ke rumah sakit,” kata Lokbere lagi.
Dengan demikian, menurut Lokbere; Pertama, Presiden harus
meminta maaf kepada Rakyat Papua atas perbuatan melawan hukum dan HAM
serta pelumpuhan terhadap karakter budaya Papua yang dilakukan oleh
aparat negara; kedua, negara bertanggung jawab terhadap pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu; ketiga, Indonesia harus memberikan rasa aman, kompensasi dan rehabilitasi bagi keluarga Ap dan Mofu. Keempat, Pemerintah Provinsi Papua harus mendukung perkembangan musik tradisional Papua dan kelima, Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan makam Arnold C. Ap dan Eduard Mofu di Pemakaman Umum Tanah Hitam, Abepura.
“Saat itu situasi sangat tegang dan masih minim alat rekam sehingga
tidak ada pihak yang mau foto. Hanya saya dan George Aditjondro yang
waktu itu mengabadikan gambar-gambar peristiwa itu,” kata Izak Morin,
adik tingkat Almarhum Ap yang mengikuti proses pemakaman Ap pada 28
tahun yang lalu.
Menurut Morin, George Junus Aditjondro tidak mengikuti proses
memandikan jenazah. Hanya dirinya yang mengabadikan dan melihat langsung
luka tembakan persis di bawah tali pusat almarhum. “Nah, saya curiganya
ini luka seperti kena sangkur atau pistol yang masuk ke dalam. Jadi,
ada 2 kemungkinan dan saya bukan tentara sehingga saya tidak bisa
pastikan. Jadi orang datang untuk melayat, tetapi jam 5 sore mobil
jenazah sudah datang untuk mengantar jenazah ke pemakaman,” kata Morin
hari ini, Kamis (26/4) di depan Museum Lokabudaya Uncen Jayapura.
Menurut Morin saat jenazah di arak, sempat ban mobil jenazah kempes
di depan Pasar Lama Abepura. Jenazah kemudian dipikul dan dibawa jalan
kaki sehingga pemakaman baru bisa belangsung pada Pukul 19.00 WIT.
Dirinya bersyukur bahwa pada hari ini masyarakat Papua berkumpul dan
memperingati kembali kematian mendiang Arnold Ap. “Bukan hanya budaya
tetapi setiap apa yang kita lakukan di dalam republik ini dianggap
ilegal. Padahal proses masuknya negara ini ke Papua pun ilegal dan ini
adalah proses yang telah menelan banyak korban sipil di pihak Rakyat
Papua,” tutur Morin.
Ferdinand Marisan, Direktur ELSHAM Papua yang sekaligus kerabat dekat
Almarhum Ap dan Mofu mengungkapkan bahwa keduanya memiliki hubungan
kekerabatan yang sangat dekat satu sama lainnya. “Arnold punya mama itu
Mofu. Edu punya bapa punya sodara perempuan itu satu sama Arnold punya
mama yang kawin dengan keluarga Ap yang melahirkan Arnold ini, kalau
orang Biak bilang napirem. Sodara sungguh mati punya,” kata Marisan.
Ayah dari Arnold adalah seorang guru. Sang ayah ini adalah murid
pertama I.S. Kijne di Miei dan menamatkan sekolahnya sekitar Tahun 1959.
Ayah Arnold juga sempat mengajar bersama-sama dengan I.S. Kijne.
“Arnold punya bapa itu Beustir yang pernah tugas di Waris, Senggi pada
Tahun 1946, 1946 hingga 1950-an, Oksibil kemudian pindah tugas di
pulau-pulau Padaido di Biak Timur sana. Jadi Arnold itu dia pindah dari
tempat ke tempat. Mungkin ini yang membuat dia punya banyak pengalaman
tentang kebiasaan-kebiasaan orang di masing-masing suku meski masih
sangat belia,” demikian jelas Marisan.
Falsafah Arnold Ap adalah menyanyi untuk hidup dimana menurut
Marisan, falsafah ini berasal dari falsafah hidup Orang Biak dimana
menyanyi membuat hidup jadi lebih berarti agar dapat melihat keadaan
sesamanya dan bisa saling menolong.
Enos Rumansara, Antropolog Papua yang mengukuti peringatan 28 tahun
meninggalnya Arnold Clemens Ap ini menyambut baik apa yang telah
dilakukan hari ini. “Kami lahir pada tanggal 5 agustus 1979 di Jayapura.
Sejak itu kami mencoba tampil lewat tari, tawa, nada dan irama. Kami
merasa terpancing untuk harus bernyanyi saat ulang tahun ke-3 ini, kami
menawarkan buku saku lagu-lagu Irian untuk melengkapi rekaman kasetnya.
Kami sadar, prestasi Mambesak selama ini adalah hasil kerja sama kita.
Para penyanyi alam. Tua, muda laki, perempuan dari kampung-kampung
terpencil datang pada kami atau mengirimkan karnyanya lewat laut, darat
dan udara,” kata Rumansara membacakan tulisan di dalam buku saku
lagu-lagu Grup Mambesak.
Mengenai kasus kematian sang Legendaris Budaya Papua ini, Marisan
berpendapat, kasusnya sampai sekarang dibiarkan begitu saja. Memang
begitu karena situasi saat itu tidak bisa kita bilang kondusif. “Masa
Suharto beda. Ketika kita bicara hukum, kita akan menjadi orang yang
akan dihukum dan ditangkap. Jangankan ini, sebut nama ‘Papua’ saja itu
pasti akan dipenjarakan. Hukum Indonesia saat itu membuat Orang Papua
tidak bisa bergerak bebas. Saat ini ruang demokrasi sudah cukup terbuka
di Papua tetapi tergantung siapa yang mau mengangkat kasus ini,” kata
Marisan kepada tabloidjubi.com.
Seperti mengiyakan kata-kata pemimpin Otoriter Jerman, Adolf Hitler:
Cara Membunuh Sebuah Bangsa yang Paling Mudah Adalah Membunuh Budayanya,
Indonesia terus melakukan pembunuhan, bukan hanya fisik tetapi
pembunuhan identitas dan karakter Bangsa Papua selama berintegrasi.
“Selamat Memperingati 28 Tahun Wafatnya Arnold Clemens Ap dan Eduard
Mofu, Semoga Semangat Membangun Budaya Pembebasan Tetap Membara di
Sanubari Setiap Anak Negeri Papua.”
0 Response to " "
Posting Komentar