isi blog

chados sangkek. Diberdayakan oleh Blogger.

Lencana Facebook

Diposting oleh CHADOS-SANGKEK On 18.37.00

Arnold Clemens Ap, tokoh budayawan Papua yang dibunuh oleh pasukan elit Kopassandha (sekarang Kopassus) di Pasir Enam, Kota Jayapura, Papua pada tanggal 26 April 1984 lalu, diperingati oleh puluhan warga Papua di Kota Jayapura, Papua pada Kamis (26/4).

Peringatan itu dilakukan dengan diadakan long march dari Museum Lokabudaya Universitas Cenderawasih (Uncen) di Abepura menuju tempat peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Umum Tanah Hitam, Abepura. “Arnold Ap adalah mahasiswa Geografi, Uncen Jayapura yang menyiarkan program mingguan popular di radio lokal Irian Jaya waktu itu,” kata Peneas Lokbere, Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) ke tabloidjubi.com di Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Pada Kamis, 26 April 2012 adalah peringatan 28 tahun kematian Sang Budayawan. Penangkapan Arnold Ap sendiri terjadi pada 30 November 1983 dalam Operasi Tumpas dibawa kendali Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha).

Operasi militer ini sifatnya tertutup dengan menggunakan pola penculikan terhadap warga sipil yang dituduh sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan terjadi blockade milter. Akibat blockade militer tersebut, informasi sangat sulit diakses sehingga jumlah korban sipil sangat sulit diprediksi yang mana situasi ini oleh Robin Osborn disebut The Secret War atau perang rahasia.

Saat Operasi Tumpas berlangsung (1983-1984), banyak Warga Papua melakukan eksodus besar-besaran ke negara tetangga, Papua New Guinea untuk menyelamatkan diri dari represi militer. Setelah melewati masa interogasi dan penganiayaan yang panjang, Arnold Ap dipindahkan ke komando militer yang kemudian diserahkan ke petugas intelijen kepolisian. Pada 14 April 1984, Arnold Ap sempat terlihat di Kampus Uncen yang dikawal oleh seorang perwira.

Seminggu kemudian diumumkan bahwa ia telah melarikan diri dari penjara dengan 4 orang tahanan lainnya. Di kemudian hari, masyarakat tahu bahwa ‘melarikan diri’ Arnold Ap ini diatur oleh pihak yang berwenang. Salah satu tahanan ternyata melarikan diri ke PNG dan menjadi satu-satunya saksi mata dalam kasus ini. Dalam kisahnya ia menuturkan bahwa mereka dipaksa berenang ke sebuah perahu. Eduard Mofu, saudara dekat Ap tertembak di kepala, ditusuk di leher lalu dilempar ke laut. Jenazah Mofu kemudian disemayamkan bersebelahan dengan mendiang Arnold Ap. “Arnold Ap ditembak tiga kali di perut dan ditikam di dada. Ia sempat dibawa ke rumah sakit,” kata Lokbere lagi.

Dengan demikian, menurut Lokbere; Pertama, Presiden harus meminta maaf kepada Rakyat Papua atas perbuatan melawan hukum dan HAM serta pelumpuhan terhadap karakter budaya Papua yang dilakukan oleh aparat negara; kedua, negara bertanggung jawab terhadap pembunuhan berencana yang dilakukan terhadap Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu; ketiga, Indonesia harus memberikan rasa aman, kompensasi dan rehabilitasi bagi keluarga Ap dan Mofu. Keempat, Pemerintah Provinsi Papua harus mendukung perkembangan musik tradisional Papua dan kelima, Pemerintah Provinsi Papua harus memperhatikan makam Arnold C. Ap dan Eduard Mofu di Pemakaman Umum Tanah Hitam, Abepura.

“Saat itu situasi sangat tegang dan masih minim alat rekam sehingga tidak ada pihak yang mau foto. Hanya saya dan George Aditjondro yang waktu itu mengabadikan gambar-gambar peristiwa itu,” kata Izak Morin, adik tingkat Almarhum Ap yang mengikuti proses pemakaman Ap pada 28 tahun yang lalu.

Menurut Morin, George Junus Aditjondro tidak mengikuti proses memandikan jenazah. Hanya dirinya yang mengabadikan dan melihat langsung luka tembakan persis di bawah tali pusat almarhum. “Nah, saya curiganya ini luka seperti kena sangkur atau pistol yang masuk ke dalam. Jadi, ada 2 kemungkinan dan saya bukan tentara sehingga saya tidak bisa pastikan. Jadi orang datang untuk melayat, tetapi jam 5 sore mobil jenazah sudah datang untuk mengantar jenazah ke pemakaman,” kata Morin hari ini, Kamis (26/4) di depan Museum Lokabudaya Uncen Jayapura.

Menurut Morin saat jenazah di arak, sempat ban mobil jenazah kempes di depan Pasar Lama Abepura. Jenazah kemudian dipikul dan dibawa jalan kaki sehingga pemakaman baru bisa belangsung pada Pukul 19.00 WIT. Dirinya bersyukur bahwa pada hari ini masyarakat Papua berkumpul dan memperingati kembali kematian mendiang Arnold Ap. “Bukan hanya budaya tetapi setiap apa yang kita lakukan di dalam republik ini dianggap ilegal. Padahal proses masuknya negara ini ke Papua pun ilegal dan ini adalah proses yang telah menelan banyak korban sipil di pihak Rakyat Papua,” tutur Morin.

Ferdinand Marisan, Direktur ELSHAM Papua yang sekaligus kerabat dekat Almarhum Ap dan Mofu mengungkapkan bahwa keduanya memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat satu sama lainnya. “Arnold punya mama itu Mofu. Edu punya bapa punya sodara perempuan itu satu sama Arnold punya mama yang kawin dengan keluarga Ap yang melahirkan Arnold ini, kalau orang Biak bilang napirem. Sodara sungguh mati punya,” kata Marisan.

Ayah dari Arnold adalah seorang guru. Sang ayah ini adalah murid pertama I.S. Kijne di Miei dan menamatkan sekolahnya sekitar Tahun 1959. Ayah Arnold juga sempat mengajar bersama-sama dengan I.S. Kijne. “Arnold punya bapa itu Beustir yang pernah tugas di Waris, Senggi pada Tahun 1946, 1946 hingga 1950-an, Oksibil kemudian pindah tugas di pulau-pulau Padaido di Biak Timur sana. Jadi Arnold itu dia pindah dari tempat ke tempat. Mungkin ini yang membuat dia punya banyak pengalaman tentang kebiasaan-kebiasaan orang di masing-masing suku meski masih sangat belia,” demikian jelas Marisan.

Falsafah Arnold Ap adalah menyanyi untuk hidup dimana menurut Marisan, falsafah ini berasal dari falsafah hidup Orang Biak dimana menyanyi membuat hidup jadi lebih berarti agar dapat melihat keadaan sesamanya dan bisa saling menolong.

Enos Rumansara, Antropolog Papua yang mengukuti peringatan 28 tahun meninggalnya Arnold Clemens Ap ini menyambut baik apa yang telah dilakukan hari ini. “Kami lahir pada tanggal 5 agustus 1979 di Jayapura. Sejak itu kami mencoba tampil lewat tari, tawa, nada dan irama. Kami merasa terpancing untuk harus bernyanyi saat ulang tahun ke-3 ini, kami menawarkan buku saku lagu-lagu Irian untuk melengkapi rekaman kasetnya. Kami sadar, prestasi Mambesak selama ini adalah hasil kerja sama kita. Para penyanyi alam. Tua, muda laki, perempuan dari kampung-kampung terpencil datang pada kami atau mengirimkan karnyanya lewat laut, darat dan udara,” kata Rumansara membacakan tulisan di dalam buku saku lagu-lagu Grup Mambesak.

Mengenai kasus kematian sang Legendaris Budaya Papua ini, Marisan berpendapat, kasusnya sampai sekarang dibiarkan begitu saja. Memang begitu karena situasi saat itu tidak bisa kita bilang kondusif. “Masa Suharto beda. Ketika kita bicara hukum, kita akan menjadi orang yang akan dihukum dan ditangkap. Jangankan ini, sebut nama ‘Papua’ saja itu pasti akan dipenjarakan. Hukum Indonesia saat itu membuat Orang Papua tidak bisa bergerak bebas. Saat ini ruang demokrasi sudah cukup terbuka di Papua tetapi tergantung siapa yang mau mengangkat kasus ini,” kata Marisan kepada tabloidjubi.com.

Seperti mengiyakan kata-kata pemimpin Otoriter Jerman, Adolf Hitler: Cara Membunuh Sebuah Bangsa yang Paling Mudah Adalah Membunuh Budayanya, Indonesia terus melakukan pembunuhan, bukan hanya fisik tetapi pembunuhan identitas dan karakter Bangsa Papua selama berintegrasi. “Selamat Memperingati 28 Tahun Wafatnya Arnold Clemens Ap dan Eduard Mofu, Semoga Semangat Membangun Budaya Pembebasan Tetap Membara di Sanubari Setiap Anak Negeri Papua.”

Category :

0 Response to " "

Posting Komentar

KO TITIP PESAN DI SINI

kawanku Terima kasih telah mengunjungi alamat apa kabar papua!

Lencana Facebook

Followers

Blog Archive

Blog Archive

Category

Lencana Facebook

Cs utbir

APA PILIHAMU TENGTAN BLOG INI

flagcounter

free counters

Cari Blog Ini

coba

Calendar




SMS GRATIS

Download

hit counter

Total Tayangan